Friday, September 7, 2018

Kisah Hidup Nabi Ibrahim dan Siti Hajar


Pelajaran Berharga dari Kisah Nabi Ibrahim dan Siti Hajar
nabi ibrahim adalah orang tua yang penyayang dan berperasaan sangat halus..

Nabi Ibrahim AS adalah orangtua yang penyayang dan berperasaan sangat halus sebagaimana nama beliau, Ibrahim berasal dari bahasa suyani yang rumpun asalnya bersamaan dengan bahasa arab, merupakan gabungan dari dua kata, yaitu Ib dan Rahim. Ib sama artinya dengan  Abun dalam bahasa  Arab, yaitu bapak atau ayah. Rahim dalam bahasa suryani sama artinya dengan Rahim dalam bahasa Arab, yaitu penyayang. Jadi, Ibrahim berarti ayah yang penyayang.

Nabi Ibrahim sangat lembut hati lagi penyantun. Ia senantiasa menyepurnakan janji, pada Allah, dan istiqomah Ia sangat beradab dengan adab yang diajarkan Allah kepadanya, hal ini tercermin saat beliau memohon dan berdoa kepada Allah.
Setelah sekian lama menungguh, akhirnya Hajar sahaya yang dipilih sarah untuk Nabi Ibrahim hamil dan melahirkan anak bernama Ismail. Sebagai seorang istri, hati siapa yang tak cemburu? Begitulah yang dialami Sarah ketika melihat hadirnya Ismail di tengah keluarganya.
Siti Hajar tahu kecemburuhan Sarah. Bagaimanapun, ia tak ingin menyakiti Sarah yang telah begitu baik padanya. Hajar pun tau situasi seperti ini tak baik untuk pertumbuhan anaknya. Akhirnya, Allah memberi putusan bagi Hajar untuk berhijah karena Allah mahatahu yang terbaik bagi hamba-hamba-nya. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membawa Ismail dan siti Hajar.
Saat hendak berangkat, Hajar mengenakan ikat pinggang guna mengikat pakaiannya agar terjuntai ke tanah untuk menutupi jejak kakinya. Tujuannya adalah agar tidak di ketahui Sarah. Hajar adalah wanita pertama yang membuat ikat pinggang. Nabi ibrahim membawa istridan anaknya yang masih menyusui itu dan menempatkan keduanya di dekat Baitullah di sisi pohon dauhaha pada atas sumur Zamzam dan masjidil haram menurut perkiraan sekarang.
Dengan berbekal tempat makanan berisi kurma dan tempat minum berisi air, Ibrahim meninggalkan keduanya. Siti Hajar mengikutinya dan bertanyaa, Hendak ke manakah, wahai Ibrahim? Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada teman atau apa pun?
Hajar mengulang pertanyaannya beberapa kali. Saat dilihatnya Ibrahim hanya diam, segera ia bersandar. Apakah Allah yang menyuruhmu berbuat demikian? Tanyanya dengan kecerdasan luar biasa.
Jawab Ibrahim.
Jika demikian, maka Allah tak akan menelantarkan kami. Kemudian  Hajar kembali ke tempat semula, sedangkan  Ibrahim melanjutkan perjalanannya.
Nabi Ibrahim AS, bukanlah pergi atas kemauanya sendiri. Semua itu adalah atas perintah Allah. Dengan berat hati ia melanjutkan perjalanannya sampai ke Tsaniah, di mana istri dan anaknya tak lagi bisa melihatnya. Bagaimanakah hati seorang ayah?  Baru saja merasa senang karena mendapat seoarang anak, sudah harus berpisah.
Ayah yang begitu penyayang itu tentulah sedih. Namun, Nabi Ibrahim yakin Allah menginginkan yang terbaik untuk hamba-Nya. Nabi Ibrahim menghadap wajahnya ke Baitullah seraya mengangkat kedua tangannya dan berdoa, Ya Tuhan Kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang  tidak memiliki pepohonan, yaitu di sisi rumah-Mu yang suci. Mudah-Mudahan mereka berterimah kasih. Sementara itu, Siti Hajar memperhatikan anaknya yang berguling-guling kehausan. Ia tak tega. Dengan penuh cinta, ia beranjak pergi mendaki Bukit Shafa.   Ia berharap ada orang yang akan menolongnya atau menemukan lokasi air. Ketika tak menemukan apa yang di carinya, ia menaiki Bukit Marwah. Terus-menerus seperti itu sebanyak tujuh kali, sampai datanglah pertolongan  Allah. Tiba-tiba air keluar dari bawah kaki Ismail kecil yang menangis karena kehausan.
Hajar takjub dan berkata, Zamzam, zamzam. Berkumpul-kumpul. Ia segera membuat kolam kecil agar air Zamzam tak kemana-mana.
Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW, bersabda, Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada bunda Ismail, Siti Hajar. Jika ia membiarkan Zamzam atau jika ia tidak membuat kolam, niscaya  Zamzam menjadi mata air yang mengalir.
Siti Hajar minum lalu menyusui anaknya. Dengan  limpahan karunia berupa air yang diberikan  Allah kepadanya, banyak manusia singgah dan menetap si sana hingga ramailah tempat itu. Peristiwa mendaki bukit Shafa dan bukit Marwah diabadaikan Allah sebagai salah satu rukun haji dan umrah. Tujuannya adalah agar kita yakin bahwa Allah tak akan menyia-nyiakan kita jiak kita senantiasa patuh dan berusaha semaksimal mungkin dalam kehidupan ini, termasuk dalam berjuang untuk anak-anak kita.
Siti Hajar mengerti Allah sangat menyayanginya. Ia Yakin Allah akan selalu menolongnya. Allah Yang Maha Membalas kebaikan hamba-hamba-Nya mengabadikan namanya sampai sekarang. Siti Hajar tetap dikenang orang sampai sekarang.
Apa pelajaran yang kita petik dari Kisah Hajar?  Ya, keyakinan bahwa Allah sangat menyayanginya. Ia juga tidak hanya berpangku tangan dalam menghadapi situasi sulit. Saat anak tercintanya kehausan, ia berusaha mencari dengan mendaki bukit sebanyak tujuh kali. Ini usaha yang sungguh luar biasa.
Ya, tugas kita hanya berusaha. Meskipun Siti Hajar mengitari Bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, Allah tidak memberikan apa yang ia butuhkna. Allah justru memberikan apa yang dibutuhkan di tempat yang tak pernah  ia duga. Begitu pula dengan kita.
Mempelajari kisah ini semoga membawa kita lebih bersemangat menjalani hidup dan tidak putus asa berjuang dalam menghadapi ujian. Sesungguhnya Allah menempa diri kita supaya orangtua yang lebih berkualitas.Allah menginginkan kita menjadi orangtua yang lebih bijak, lebih tangguh, dan melakukan lebih banyak amal saleh. Inilah modal utamaa kita untuk menjadi pendidik yang penuh cinta. Subahanallah.
Penuh cinta
Jikalau kita menghadapi anak-anak dengan kemarahan, ketidaksabaran, ataupun keluhan, wajah-wajah mereka akan mengerut bahkan mungkin balik melawan kita. Mereka akan mudah marah menghadapi sesuatu karena sesungguhnya kitalah yang mengajarkan untuk marah, tak sabar, ataupun suka mengeluh. Terkadang  tingkah mereka bahkan menyulut Emosi kita.
Allah yang menciptakan kita sungguh mengerti bagaimana hamba-Nya hingga menasihati kita dengan firman-nya penuh cinta lagi sebaya umurnya.  (QS. Al-Waqiah [56]: 37)
Di dalam ayat ini Allah melukiskan hati wanita surga (bidadari)  yang Ia ciptakan, yaitu penuh cinta. Hati yang penuh rasa cinta kasih dan mampu mencurahkan untuk orang-orang yang dikasihinya. Sesungguhnya sifat inilah yang Allah kehendaki bertakhta di hati kita agar kita mampu mendidik anak-anak sehingga mereka tumbuh cemerlang.
Teringatlah saya pada apa yang disampaikan Ustaz Mohammad fauzi Adhim seminarnya.  Ia mengatakan bahwa menurut para ahli, anak-anak yang sukses bukanlah dibesarkan oleh orang tua yang hebat ataupun cerdas melainkan oleh orangtua terutama ibu yang cinta dan tulus dalam mendidik anak-anaknya. Ia juga menyampaikan bahwa sebagaikan bahwa sebagian besar orang sukses terlahir dari keluarga yatim. Ini mungkin karena anak-anak tumbuh dalam suasana penuh cinta dan tidak pernah melihat kedua orangtua mereka bertengkar. Mereka hanya melihat seorang bunda tangguh yang senantiasa bercerita tentang kebaikan sang ayah untuk menjadi contoh teladan bagi sang anak seperti, Ayahmu itu, Nak, orang luar biasa
Sekali lagi saya tersentuh dengan kata penuh yang difirmankan Allah dalam Al-Qur an manakala mendeskripsikan sifat bidadari di surga, penuh cinta lagi sebaya umurnya. Juga Rasulullah SAW.. kepada para lelaki untuk menikahi wanita muda karena perkataanya manis dan rela dengan nafka yang sedikit.
Modal terbesar penuh cinta inilah yang mengantarkan anak-anak kita pada kecemarlangan berpikir. Insya Allah mereka akan menjadi manusia-manusia besar. Amin ya Rabb. 
Wassalamualaikum...

No comments:

Post a Comment