Pelajaran
Berharga dari Kisah Nabi Ibrahim dan Siti Hajar
Nabi Ibrahim AS adalah
orangtua yang penyayang dan berperasaan sangat halus sebagaimana nama beliau,
Ibrahim berasal dari bahasa suyani yang rumpun asalnya bersamaan dengan bahasa
arab, merupakan gabungan dari dua kata, yaitu Ib dan Rahim. Ib sama artinya
dengan Abun dalam bahasa Arab, yaitu bapak atau ayah. Rahim dalam
bahasa suryani sama artinya dengan Rahim dalam bahasa Arab, yaitu penyayang. Jadi,
Ibrahim berarti ayah yang penyayang.
Nabi Ibrahim sangat lembut
hati lagi penyantun. Ia senantiasa menyepurnakan janji, pada Allah, dan
istiqomah Ia sangat beradab dengan adab yang diajarkan Allah kepadanya, hal ini
tercermin saat beliau memohon dan berdoa kepada Allah.
Setelah sekian lama
menungguh, akhirnya Hajar sahaya yang dipilih sarah untuk Nabi Ibrahim hamil
dan melahirkan anak bernama Ismail. Sebagai seorang istri, hati siapa yang tak
cemburu? Begitulah yang dialami Sarah ketika melihat hadirnya Ismail di tengah
keluarganya.
Siti Hajar tahu kecemburuhan
Sarah. Bagaimanapun, ia tak ingin menyakiti Sarah yang telah begitu baik
padanya. Hajar pun tau situasi seperti ini tak baik untuk pertumbuhan anaknya.
Akhirnya, Allah memberi putusan bagi Hajar untuk berhijah karena Allah mahatahu
yang terbaik bagi hamba-hamba-nya. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membawa
Ismail dan siti Hajar.
Saat hendak berangkat, Hajar
mengenakan ikat pinggang guna mengikat pakaiannya agar terjuntai ke tanah untuk
menutupi jejak kakinya. Tujuannya adalah agar tidak di ketahui Sarah. Hajar
adalah wanita pertama yang membuat ikat pinggang. Nabi ibrahim membawa istridan
anaknya yang masih menyusui itu dan menempatkan keduanya di dekat Baitullah di
sisi pohon dauhaha pada atas sumur Zamzam dan masjidil haram menurut perkiraan
sekarang.
Dengan berbekal tempat
makanan berisi kurma dan tempat minum berisi air, Ibrahim meninggalkan
keduanya. Siti Hajar mengikutinya dan bertanyaa, Hendak ke manakah, wahai
Ibrahim? Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada teman atau apa pun?
Hajar mengulang
pertanyaannya beberapa kali. Saat dilihatnya Ibrahim hanya diam, segera ia
bersandar. Apakah Allah yang menyuruhmu berbuat demikian? Tanyanya dengan
kecerdasan luar biasa.
Jawab Ibrahim.
Jika demikian, maka Allah
tak akan menelantarkan kami. Kemudian
Hajar kembali ke tempat semula, sedangkan Ibrahim melanjutkan perjalanannya.
Nabi Ibrahim AS, bukanlah
pergi atas kemauanya sendiri. Semua itu adalah atas perintah Allah. Dengan berat
hati ia melanjutkan perjalanannya sampai ke Tsaniah, di mana istri dan anaknya
tak lagi bisa melihatnya. Bagaimanakah hati seorang ayah? Baru saja merasa senang karena mendapat
seoarang anak, sudah harus berpisah.
Ayah yang begitu penyayang
itu tentulah sedih. Namun, Nabi Ibrahim yakin Allah menginginkan yang terbaik
untuk hamba-Nya. Nabi Ibrahim menghadap wajahnya ke Baitullah seraya mengangkat
kedua tangannya dan berdoa, Ya Tuhan Kami, sesungguhnya aku telah menempatkan
sebagian keturunanku di lembah yang
tidak memiliki pepohonan, yaitu di sisi rumah-Mu yang suci.
Mudah-Mudahan mereka berterimah kasih. Sementara itu, Siti Hajar memperhatikan
anaknya yang berguling-guling kehausan. Ia tak tega. Dengan penuh cinta, ia
beranjak pergi mendaki Bukit Shafa. Ia
berharap ada orang yang akan menolongnya atau menemukan lokasi air. Ketika tak
menemukan apa yang di carinya, ia menaiki Bukit Marwah. Terus-menerus seperti
itu sebanyak tujuh kali, sampai datanglah pertolongan Allah. Tiba-tiba air keluar dari bawah kaki
Ismail kecil yang menangis karena kehausan.
Hajar takjub dan berkata,
Zamzam, zamzam. Berkumpul-kumpul. Ia segera membuat kolam kecil agar air Zamzam
tak kemana-mana.
Ibnu Abbas berkata bahwa
Rasulullah SAW, bersabda, Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada bunda Ismail,
Siti Hajar. Jika ia membiarkan Zamzam atau jika ia tidak membuat kolam,
niscaya Zamzam menjadi mata air yang
mengalir.
Siti Hajar minum lalu menyusui
anaknya. Dengan limpahan karunia berupa
air yang diberikan Allah kepadanya,
banyak manusia singgah dan menetap si sana hingga ramailah tempat itu. Peristiwa
mendaki bukit Shafa dan bukit Marwah diabadaikan Allah sebagai salah satu rukun
haji dan umrah. Tujuannya adalah agar kita yakin bahwa Allah tak akan
menyia-nyiakan kita jiak kita senantiasa patuh dan berusaha semaksimal mungkin
dalam kehidupan ini, termasuk dalam berjuang untuk anak-anak kita.
Siti Hajar mengerti Allah
sangat menyayanginya. Ia Yakin Allah akan selalu menolongnya. Allah Yang Maha
Membalas kebaikan hamba-hamba-Nya mengabadikan namanya sampai sekarang. Siti
Hajar tetap dikenang orang sampai sekarang.
Apa pelajaran yang kita
petik dari Kisah Hajar? Ya, keyakinan
bahwa Allah sangat menyayanginya. Ia juga tidak hanya berpangku tangan dalam
menghadapi situasi sulit. Saat anak tercintanya kehausan, ia berusaha mencari
dengan mendaki bukit sebanyak tujuh kali. Ini usaha yang sungguh luar biasa.
Ya, tugas kita hanya
berusaha. Meskipun Siti Hajar mengitari Bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh
kali, Allah tidak memberikan apa yang ia butuhkna. Allah justru memberikan apa
yang dibutuhkan di tempat yang tak pernah ia duga. Begitu pula dengan kita.
Mempelajari kisah ini semoga
membawa kita lebih bersemangat menjalani hidup dan tidak putus asa berjuang
dalam menghadapi ujian. Sesungguhnya Allah menempa diri kita supaya orangtua
yang lebih berkualitas.Allah menginginkan kita menjadi orangtua yang lebih
bijak, lebih tangguh, dan melakukan lebih banyak amal saleh. Inilah modal utamaa
kita untuk menjadi pendidik yang penuh cinta. Subahanallah.
Penuh cinta
Jikalau kita menghadapi
anak-anak dengan kemarahan, ketidaksabaran, ataupun keluhan, wajah-wajah mereka
akan mengerut bahkan mungkin balik melawan kita. Mereka akan mudah marah
menghadapi sesuatu karena sesungguhnya kitalah yang mengajarkan untuk marah,
tak sabar, ataupun suka mengeluh. Terkadang tingkah mereka bahkan menyulut Emosi kita.
Allah yang menciptakan kita
sungguh mengerti bagaimana hamba-Nya hingga menasihati kita dengan firman-nya
penuh cinta lagi sebaya umurnya. (QS.
Al-Waqiah [56]: 37)
Di dalam ayat ini Allah
melukiskan hati wanita surga (bidadari)
yang Ia ciptakan, yaitu penuh cinta. Hati yang penuh rasa cinta kasih
dan mampu mencurahkan untuk orang-orang yang dikasihinya. Sesungguhnya sifat
inilah yang Allah kehendaki bertakhta di hati kita agar kita mampu mendidik
anak-anak sehingga mereka tumbuh cemerlang.
Teringatlah saya pada apa
yang disampaikan Ustaz Mohammad fauzi Adhim seminarnya. Ia mengatakan bahwa menurut para ahli,
anak-anak yang sukses bukanlah dibesarkan oleh orang tua yang hebat ataupun
cerdas melainkan oleh orangtua terutama ibu yang cinta dan tulus dalam mendidik
anak-anaknya. Ia juga menyampaikan bahwa sebagaikan bahwa sebagian besar orang
sukses terlahir dari keluarga yatim. Ini mungkin karena anak-anak tumbuh dalam
suasana penuh cinta dan tidak pernah melihat kedua orangtua mereka bertengkar.
Mereka hanya melihat seorang bunda tangguh yang senantiasa bercerita tentang
kebaikan sang ayah untuk menjadi contoh teladan bagi sang anak seperti, Ayahmu
itu, Nak, orang luar biasa
Sekali lagi saya tersentuh
dengan kata penuh yang difirmankan Allah dalam Al-Qur an manakala
mendeskripsikan sifat bidadari di surga, penuh cinta lagi sebaya umurnya. Juga Rasulullah
SAW.. kepada para lelaki untuk menikahi wanita muda karena perkataanya manis
dan rela dengan nafka yang sedikit.
Modal terbesar penuh cinta
inilah yang mengantarkan anak-anak kita pada kecemarlangan berpikir. Insya Allah
mereka akan menjadi manusia-manusia besar. Amin ya Rabb.
Wassalamualaikum...
No comments:
Post a Comment